Dua Sisi Kehidupan "Kita mau ke mana?" tanyaku setelah masuk ke mobil jemputan Joshua, cowok yang selama setahun ini menjadi bunga tidurku. Hawa dingin seketika menyergapku, memberikan kesejukan tersendiri setelah menunggu beberapa saat di ruangan terbuka dengan suhu yang relatif panas. "Nanti juga kamu tahu. Belum makan?" "Mau makan di mana?" lanjutnya setelah melihat gelengan kepalaku. Aku mengedikkan bahu. "Terserah deh." "Ke tempat favorit kamu ya?" Aku tersenyum mengiyakan. Tanpa menunggu lagi, Joshua melarikan mobil ke tempat yang dimaksudnya. Lagu Tommy Page mengalun, memecah keheningan di antara kami. "Kemarin di mal aku melihat sepatu bagus lho. Rencananya, lusa aku sama Sisca mau beli," ceritaku sambil melihat padanya. Ia mengalihkan pandangannya kepadaku sejenak lalu kembali konsen ke jalan. "Buat apa lagi? Toh sepatu sudah bejibun. Lebih baik kamu gunakan untuk sesuatu yang lebih berguna," nasihatnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. "Tapi aku belum punya sepatu yang modelnya seperti itu," dalihku. "Ya ampun Sayang, kalau kamu menuruti mode, nggak bakal bisa berhenti. Setiap selang waktu tertentu pasti akan muncul model baru." "Memangnya kamu nggak kera?" ujarku, mengalihkan topik. Agar Joshua nggak terus-terusan memberiku nasihat. "Semua urusan sudah aku selesaikan sebelum menjemput kamu. Nah, kita sudah sampai. Come on!" Joshua menggandengku memasuki sebuah restoran yang menyajikan berbagai steak yang aku suka. *** Aku melirik padanya, meminta penjelasan. Joshua diam saja. Tatapannya tak beralih dari jalan yang banyak dikelilingi sampah dan barang rongsokan. "Josh?" kataku, kembali meminta penjelasan. Joshua memandangku lembut. "Aku mau kamu temani aku menemui salah satu ibu anak asuh temanku. Sudah tiga hari ini dia menderita demam," katanya. Aku mendelik kaget. "Hah? Apa urusannya denganku?" teriakku dalam hati. "Katie?" Josh menepuk tanganku, membuatku gelagapan. Aku tersenyum kecut, menanggapi senyuman yang mengembang di wajahnya yang putih. "Kita sudah sampai. Turun yuk," ajaknya. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Begitu banyak sampah yang berserakan di mana-mana. Lalat beterbangan mengitari tumpukan asmpah basah yang berada tak jauh dari mobil Joshua. Kusiratkan rasa tidak setujuku untuk turun. "Tapi Josh…" kataku enggan. "Temani aku Katie. Ibu Yoyok pasti senang bertemu kamu. Tapi sebelumnya aku ingin memberikan permen pada anak-anak di perkampungan ini. Bantu aku ya," pintanya. Dapat kulihat senyuman penuh lega ketika aku menganggukkan kepalaku, meski terkesan ragu. Seumur-umur, aku nggak pernah sekali pun membayangkan akan menginjakkan kaki di lingkungan sekotor ini. Tapi hari ini… "Ya Tuhan, mimpi aja aku semalam?" batinku. Banyak sekali anak kecil yang menyalami Joshua dengan tangannya yang dekil. Mereka sangat senang akan kedatangan Joshua. Tanpa canggung Joshua menyalami mereka. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Namun tak dapat kusangkal, ketika Joshua membagikan permen pada mereka, ada sirat kebahagiaan di raut wajah kotor mereka. Itu memberi kebahagiaan tersendiri bagiku. Entah, aku begitu sulit menjabarkannya. Aku mengambil sedikit permen dari Joshua dan membagikannya pada seorang anak perempuan. "Ini buat kamu," kataku sembari memberi segenggam permen. "Terima kasih," ujar anak itu. Dia mengambil permen dari tanganku diikuti senyuman tulus. Dalam sekejap anak itu hilang di balik tumpukan sampah. Ketika semua permen habis dibagikan, Joshua segera menggandengku menuju rumah Yoyok. "Itu rumahnya." Joshua menunjuk sebuah rumah berukuran 3 x 3 meter. Lebih tepat disebut gubuk, menurutku. Pintu depan terbuka. "Siang Bu. Bagaimana kabarnya?" sapa Josh ramah pada ibu tua yang terbaring di dipan. "Mari masuk Nak Josh. Sudah agak mendingan. Yoyok sedang pergi, sebentar lagi pasti kembali," sambutnya diikuti batuk kecil. Hawa pengap segera menyergap indera penciumanku yang langsung menyebabkan kepalaku pening. "Kenalkan, ini Katie, pacar saya." Aku mengulurkan tangan dengan segan. Kuberikan senyum terbaikku pada ibu tua di depanku. Ibu itu menyambut uluran tanganku dengan hangat. "Cantik sekali pacarnya. Maaf ya, rumah Ibu berantakan." "Nggak apa-apa kok Bu," jawabku segera. Kualihkan pandanganku ke sekeliling. Gubuk dengan dinding bambu. Lantainya hanya tanah, tidak ada ventilasi yang memadai sehingga menyebabkan hawa pengap. Ditambah lagi bau sampah yang menusuk, yang berada tepat di samping gubuk ini. Entah, perasaanku mendadak aneh. Beda sekali dengan kehidupan yang selama ini kujalani. Aku tidak pernah sekali pun membayangkan ada kehidupan seperti ini. Bagaimana dua orang manusia bisa hidup dengan keadaan begini? Dalam ruangan berukuran 3 x 3 meter yang pengap, kotor. Setiap hari menghirup udara yang tidak sehat. Migrainku semakin menjad-jadi. Aku berusaha berdiri tegak namun aku merasakan keringat dingin membasahi tubuhku. Pandanganku mulai kabur. "Katie!" Hanya itu kata terakhir yang kudengar dari Joshua sebelum semuanya gelap. Aku pingsan dengan sukses dalam gubuk itu. Oleh Rosa Feliana Tanaya Penulis adalah mahasiswa UK Petra Surabaya